DUNIA SASTRA JAWA[1]
Oleh:
Drs. Aloysius Indratmo, M.Hum.
1. Pengantar
Dunia
Sastra Jawa sampai dengan saat ini belum banyak dipahami masyarakat.
Saudara-saudara mahasiswa baru mungkin juga belum sepenuhnya mengetahui
seberapa luas dunia sastra kita. Ketika ditanya mengapa memilih Jurusan Sastra
Daerah (Jawa), kebanyakan dari mahasiswa baru menjawab “karena ingin menjadi
guru Bahasa Jawa”. Menurut banyak orang Sastra Jawa itu identik dengan Bahasa
Jawa, padahal tidaklah demikian.
Sastra
Jawa memang erat kaitannya dengan bahasa Jawa tetapi Sastra Jawa tidak sekedar
Bahasa Jawa. Studi Sastra Jawa dengan demikian tidak hanya studi tentang Bahasa
Jawa. Studi Sastra Jawa merupakan dunia yang sangat luas, yang menantang kita,
para peneliti dan calon peneliti untuk segera menggarapnya. Seberapa luas
Sastra Jawa itu, kita bicarakan pada bagian berikut.
2. Pengertian
Sastra Jawa
Kalau kita berbicara tentang Sastra
Jawa, sebaiknya kita sampaikan dulu pengertian dasar tentang apa itu Sastra
Jawa. Pengertian dasar ini diperlukan agar pembicaraan kita memiliki landasan
yang sama sehingga bisa lebih terfokus.
Untuk menjawab pertanyaan ini,
sebaiknya kita mulai dengan menjawab pertanyaan “Apakah yang dimaksud dengan
Sastra?” Terdapat banyak definisi
tentang Sastra yang pernah dikemukakan para ahli tetapi yang pali sederhana
adalah sebagai berikut.
Sastra atau Karya Sastra adalah
karya seni yang menggunakan bahasa sebagai media. Kita mengenal banyak jenis
karya seni. Lukisan adalah karya seni yang menggunakan garis dan warna sebagai
media. Patung adalah karya seni yang menggunakan bentuk sebagai media. Lagu
adalah karya seni yang menggunakan titi nada sebagai media. Berbeda dengan
lukisan, patung, dan lagu, Sastra menggunakan bahasa sebagai media ekspresinya.
Kalau kita berpijak pada pengertian
Sastra di atas, maka yang dimaksud dengan Sastra Jawa adalah karya seni yang
menggunakan Bahasa Jawa sebagai media.
Di dalam pengertian Sastra terdapat empat
komponen yang saling berhubungan. Keempat komponen tersebut adalah karya
(sastra), penulis, pembaca, dan realitas (dunia).
Karya sastra merupakan komponen
pokok dan pusat di antara ketiga komponen yang lain. Jika tidak ada karya
sastra tidak akan ada komponen yang lain. Karya Sastra biasanya berbentuk
prosa, puisi, dan drama; lisan dan tulis.
Penulis adalah manusia penghasil
karya sastra. Penulis karya sastra disebut dengan berbagai istilah, misalnya
Kawi, pujangga, penggurit, novelis, sastrawan. Di dalam komponen penulis dapat
pula diamati tentang proses kreatif yang berbeda-beda dari zaman ke zaman.
Istilah Penulis sebenarnya memiliki pengertian Pengarang/Pencipta; sehingga
termuat juga para pencipta sastra lisan, bukan hanya sastra tulis saja.
Pembaca adalah manusia penikmat
karya sastra. Dalam hubungan antara karya dengan pembaca terdapat proses
resepsi/tanggapan/tafsir/pemaknaan. Pada komponen ini termasuk juga hasil
proses pembacaan/mendengarkan; yang bisa berupa kritik atau pun karya baru.
Komponen yang keempat, realitas
dunia. Ini merupakan tempat hidup ketiga komponen sebelumnya. Penulis hidup di
dunia, ia mendapat inspirasi dari dunia pula. Karya sastra menceritakan
orang-orang yang hidup dalam dunia, maka karya sastra juga mencerminkan
realitas dunia. Pembaca juga memerlukan pengetahuan tentang dunia untuk dapat
memahami karya sastra yang dibacanya.
Karya Sastra adalah benda budaya,
karena ia diciptakan oleh manusia, hasil sentuhan tangan manusia. Sebagai benda
budaya karya sastra memuat ide/gagasan penciptanya. Sedangkan gagasan pokok
dalam sastra adalah kemanusiaan.
3. Khazanah
Sastra Jawa
Yang
membedakan Sastra Jawa dengan sastra yang lain adalah pada penggunaan Bahasa
Jawa. Bahasa Jawa memiliki sejarah yang sangat panjang, yakni sejak zaman kuna
hingga saat ini. Oleh karena itu Bahasa Jawa dapat dibedakan berdasarkan
kesejarahannya. Sejalan dengan itu maka Sastra Jawa juga dapat dipilah-pilah
sesuai dengan perkembangan historis Bahasa Jawa.
Selain itu, karena sastra berbicara
tentang manusia dan kemanusiaan, maka sastra juga memuat seluruh aspek hidup manusia.
Oleh karena itu terdapat berbagai kategori/jenis sastra. Maka Sastra Jawa juga
dapat digolongkan berdasarkan jenisnya.
3.1 Jenis
Sastra Jawa berdasarkan bahasa
Berdasarkan
Bahasa Jawa yang digunakan, Sastra Jawa dapat dibedakan menjadi Sastra Jawa
Kuna, Sastra Jawa Tengahan, Sastra Jawa Baru, dan Sastra Jawa modern.
3.1.1 Sastra
Jawa Kuna
Sebagian
besar Sastra Jawa Kuna berbentuk Kakawin (puisi) yang menggunakan metrum India,
tetapi terdapat juga yang berbentuk Parwa (prosa). Bahasa Jawa Kuna sering
disebut sebagai Bahasa Kawi, akan tetapi sebutan Bahasa Kawi bagi Bahasa Jawa
Kuna tidaklah tepat. Bahasa Kawi hanya berarti bahasa para Kawi, yakni para
penulis Kakawin. Akan tetapi Bahasa Jawa kuna tidak hanya digunakan dalam
Kakawin saja, Parwa juga menggunakan Bahasa Jawa Kuna sehingga sebutan Bahasa
Kawi lalu menjadi terlalu sempit. Memang pernah ada penggunaan istilah Bahasa
Parwa, tetapi sebagaimana sebutan Bahasa Kawi, sebutan Bahasa Parwa juga
terlalu sempit, hanya mencakup sebagian saja, tidak mencakup semuanya
seutuhnya.
Sastra
Jawa Kuna hidup pada abad IX- XVII, atau pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan
Hindu Jawa, yakni sejak Mataram Hindu sampai Majapahit. Beberapa karya besar
zaman Jawa Kuna aantara lain:
-
Ramayana karya Yogiswara
-
Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa
-
Hariwangsa karya Mpu Panuluh
-
Bharatayuddha karya Mpu Sedah dan Panuluh
-
Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh
-
Krsnayana karya Mpu Panuluh
-
Smaradahana karya Mpu Dharmaja
-
Arjunawijaya karya Mpu Tantular
-
Sutasoma karya Mpu Tantular
-
Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca
-
Lubdaka/Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung
(Zoetmulder, 1985: 453).
3.1.2 Sastra
Jawa Tengahan
Bahasa
Jawa Tengahan digunakan sekitar abad XVI, atau pada masa akhir Majapahit sampai
dengan masuknya Islam ke Jawa. Karya Sastra Jawa Tengahan sebagian besar dalam
bentuk Kidung (Puisi). Berbeda dengan Kakawin yang menggunakan metrum India,
Kidung menggunakan metrum Jawa. Beberapa karya Kidung antara lain:
-
Kidung Harsawijaya
-
Kidung Ranggalawe
-
Kidung Sorandaka
-
Kidung Sunda
-
Wangbang Wideya
-
Sri Tanjung (Zoetmulder, 1985: 532).
3.1.3 Sastra
Jawa Baru
Penggunaan Bahasa Jawa Baru sejak
masuknya Islam ke Jawa, dan semakin berkembang saat Kerajaan Demak berkuasa.
Berbeda dengan Sastra Jawa Kuna dan Sastra Jawa Tengahan yang tidak menyisakan
sastra lisan, Sastra Jawa Baru masih meninggalkan sastra dalam bentuk lisan.
Sastra Lisan kebanyakan berkembang dalam tradisi masyarakat lokal bersama
folklor setempat. Sastra Lisan ini sering juga disebut sebagai Cerita Rakyat.
Sastra Jawa Baru yang tertulis juga
sering disebut Sastra Kapujanggan. Disebut demikian karena sastra ini
kebanyakan ditulis oleh para pujangga kerajaan. Selama abad XVIII dan XIX
dikenal tiga belas nama tokoh pujangga besar, termasuk di antaranya dua raja
Surakarta: PB II dan IV, seorang pangeran, dan dua adipati dari Semarang
(Margana, 2004: 133). Beberapa pujangga itu antara lain:
-
Pangeran Adilangu II
Pangeran Adilangu atau Kadilangu II adalah keturunan Sunan Kalijaga yang
juga dikenal sebagai Pangeran Adilangu. Pangeran Adilangu II adalah pujangga
semasa PB I dari Kartasura. Karyanya adalah Babad Pajajaran, Babad Demak,
Babad Mentawis.
-
Carik Bajra (wafat 1751)
Pada masa mudanya ia bernama Sarataruna yang bekerja sebagai juru tulis
di rumah Tumenggung Kartanegara. Karena tulisan-tulisannya disukai Raja PB I,
ia diminta untuk menjadi juru tulis istana dan memperoleh gelar Carik Bajra.
Karyanya adalah Babad Kartasura dan Babad Tanah Jawi.
-
Raden Ngabehi Yasadipura I (1729 – 1803)
R.Ng. Yasadipura I lahir di desa Pengging. Ayahnya adalah Tumenggung
Padmanagara, seorang jaksa pada masa Kartasura. R.Ng. Yasadipura I adalah
keturunan ke delapan dari Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir.
Karya-karyanya adalah: Tajusalatin, Iskandar, Panji Anggreni, Babad Giyanti,
Sewaka, Ambiya, Menak, Baratayuda (jarwa), Babad Prayut, Cebolek, Arjunawiwaha
(jarwa), Arjunasasrabahu (jarwa), Rama (jarwa), Panitisastra (Kawi Miring),
Dewa Ruci (jarwa), Babad Pakepung.
-
Raden Ngabehi Yasadipura II (1756 – 1844)
R.Ng. Yasadipura II adalah putra R. Ng. Yasadipura I. Ia memiliki
beberapa nama lain, yakni Raden Panjangwasita, R.Ng. Ranggawarsita I, dan
Tumenggung Sastranagara. Karirnya sebagai penulis mulai berkembang pada awal
abad XIX. Bersama-sama dengan atahnya ia menulis beberapa babad dan menerjemahkan
beberapa karya Jawa Kuna. Ia diangkat sebagai pujangga kerajaan setelah ayahnya
wafat. Ia juga bekerjasama dengan Kiai Ranggasutrasna, Kiai Ngabehi
Sastradipura, dan Pangeran Adipati Anom Hamengkubuwana III (PB V) menyusun Serat
Centhini.
Karya-karya Yasadipura II antara lain: Serat Arjunasasra atau Serat
Lokapala, Serat Darmasunya, Serat Panitisastra, Serat Kawidasanama, Serat
Ambiya, Serat Musa, Serat Sasana Sunu, Babad Pakepung, Serat Wicara Keras, dan
Serat Centhini. Kemungkinan bersama CF Winter ia juga menggubah Serat
Baratayuda dan Serat Ramayana.
-
Raden Ngabehi Ranggawarsita (18 Maret 1802 –
23 Desember 1873)
R.Ng. Ranggawarsita adalah putra Raden Ngabehi Panjangswara atau Raden
Ngabehi Ranggawarsita II; atau cucu Yasadipura II. Nama kecilnya adalah Bagus
Burhan. Karya R.Ng. Ranggawarsita diperkirakan berjumlah enam puluh serat.
Di dalam beberapa karyanya R.Ng. Ranggawarsita menyamarkan namanya ke dalam sandi
asma. Beberapa karyanya juga memuat ramalan. Karya-karya yang banyak
dikenal masyarakat antara lain: Serat Kalatidha, Serat Jaka Lodhang, Serat
Sabdajati, Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Pustakaraja Purwa, Serat Jayengbaya.
3.1.4 Sastra
Jawa Modern
R.Ng. Ranggawarsita dikenal sebagai
pujangga terakhir Sastra Jawa. Setelah kematiannya berkembanglah Sastra Jawa
Modern. Kemunculan Sastra Jawa Modern bersamaan dengan munculnya penerbit dan
surat khabar, seperti Penerbit Balai Pustaka (1917), Surat Khabar Bromartani
(1885), Surat Khabar Retnodumilah (1895), Surat Khabar Budi Utomo (1920) dan lain-lain.
Tokoh Sastra yang muncul pada masa
ini adalah Ki Padmosusastra, yang oleh Imam Supardi dijuluki “Wong mardika
kang kang marsudi kasusastran Jawa” (Suripan, 1975: 8). Ki Padmosusastra
lebih banyak menulis prosa daripada puisi (tembang). Ki Padmosusastra
juga menerbitkan karya-karya pujangga sebelumnya. Beberapa karyanya antara
lain: Rangsang Tuban, Layang Madubasa, Serat Pathibasa.
Pada periode ini banyak karya berupa
kisah perjalanan, misalnya Cariyos Kekesahan Saking Tanah Jawi Dhateng
Nagari Welandi tulisan RMA Suryasuparta. Terdapat juga karya terjemahan
dari sastra dunia, seperti Dongeng Sewu Setunggal Dalu.
Sastra Jawa Modern periode 1920 –
1945 sepenuhnya didukung oleh penerbit Balai Pustaka, Majalah Panjebar
Semangat. Novel pertama diterbitkan
tahun 1920 berjudul Serat Riyanto tulisan RM Sulardi. Sejak tahun 1935 crita
sambung mulai berkembang, diawali oleh cerita bersambung karya Sri Susinah
dengan judul “Sandhal Jinjit Ing Sekaten Sala” (PS No. 44 Tahun III, 2
Nov 1935). Disusul kemudian dengan perkembangan crita cekak yang dimulai
oleh terbitnya karya Sambo yang berjudul “Netepi Kuwajiban” (PS No. 45
Tahun III, 9 Nov 1935). Geguritan muncul agak belakangan, yakni berjudul “Dayaning
Sastra” karya R. Intoyo dalam majalah Kejawen No, 26 tanggal 1 April
1941.
Sejak saat itu Sastra Jawa Modern
terus berkembang hingga saat ini dengan didukung oleh ratusan pengarang yang
masih setia.
3.2 Jenis
Sastra Jawa berdasarkan kategori isi
Karya Sastra Jawa dapat dibagi
berdasarkan kategori isi menjadi:
3.2.1 Sejarah
`Teks Sejarah mencakup segala macam
babad yang menceritakan peristiwa historis dan legendaris, sejak penciptaan
dunia sampai dengan Perang Dunia I.
3.2.2
Silsilah
Banyak di antara teks sejarah juga
mengandung penjabaran silsilah para raja Jawa. Dalam bagian ini, hanya naskah
yang secara eksplisit terfokus pada silsilah yang termasuk.
3.2.3 Hukum
Teks berisi uraian tentang hukum,
peraturan dan adat-istiadat di kraton Jawa.
3.2.4 Bab
Wayang
Teks yang termasuk dalam kategori
“wayang” ini kebanyakan dikarang dalam bentuk prosa dan berisi pakem (ringkas
atau lengkap) untuk lakon-lakon wayang purwa, madya, golek, gedhog, wong.
Kategori ini juga mencakup tentang ruwat, pedalangan, dan pembuatan wayang.
3.2.5 Sastra
Wayang
Kebanyakan teks ini merupakan
saduran langsung dari pakem wayang, digarap dalam bentuk tembang macapat.
3.2.6 Sastra
Kategori ini yang paling luas di
antara kategori yang dipakai, dan paling sulit untuk didefinisikan. Secara
kasar, semua cerita yang digubah dalam bentuk prosamaupun puisi, yang
menceritakan peristiwa yang tidak dianggap sebagai peristiwa historis, inilah
yang tergolong disini.
3.2.7
Piwulang
Golongan teks yang memberi ajaran
para orang saleh, suci dan bijaksana. Sebagian mementingkan keislaman dalam
ajaran tersebut, tetapi sebagian besar mementingkan kejawen. Juga termasuk
Sastra Suluk.
3.2.8 Islam
Teks tentang fiqih, sarat dan hukum
Islam, maupun teks turunan teks kitab suci Al-Qur’an. Kebanyakan teks ini
ditulis dengan huruf Arab atau Pegon, dan berisi kutipan panjang dalam bahasa
Arab.
3.2.9 Primbon
Segala macam teks mengenai kumujuran
serta kemalangan berdasarkan ilmu-ilmu tradisional, termasuk buku petangan,
pawukon, impen, dan sebagainya.
3.2.10 Bahasa
Teks tentang bahasa serta
kesusastraan Jawa, terutama jenis kamus. Juga terdapat teks tentang tembang,
aksara Jawa, candrasengkala, daftar sinonim, wangsalan dan sebagainya.
3.2.11 Musik
Notasi gendhing Jawa dari Surakarta
dan Yogyakarta, dan catatan-catatan lain tentang dunia gamelan.
3.2.12
Tari-tarian
Teks tentang seni tari Jawa dan
kelengkapannya, termasuk tari wireng, tayub, bondhan, kridharini, srimpi dan
bedhaya.
3.2.13
Adat-istiadat
Teks tentang berbagai macam
kebiasaan dan kerajinan di Jawa, baik di kalangan rakyat kecil maupun kraton,
termasuk cara berpakaian, songsong, mainan, sopan santun dalam istana,
sadranan, keris dan para empu, kawruh kalang, upacara, dan sebagainya.
3.2.14
Lain-lain
Teks-teks yang tidak termuat di
bawah kategori di atas (Behren, 1990: X)
4. Penelitian
Sastra Jawa
Jurusan Sastra Daerah ini bertujuan
untuk menyiapkan mahasiswanya menjadi peneliti, bukan yang lain. Oleh karena
itu mhs dituntut memiliki kemampuan meneliti yang baik. Meneliti Sastra Jawa
tentunya. Oleh karena Sastra Jawa memuat seluruh aspek kehidupan orang Jawa,
maka Sastra Jawa ini menyediakan bahan/objek penelitian yang sangat luas.
Apa saja yang dapat diteliti pada
Sastra Jawa?
Jawabannya tentu seluruh aspek yang
termuat dalam Sastra Jawa itu, yakni aspek-aspek kehidupan masyarakat Jawa dari
zaman Jawa Kuna hingga kini.
Muatan aspek-aspek kehidupan
masyarakat Jawa dari zaman kuna hingga kini itulah kelebihan Sastra Jawa.
Dengan kata lain Sastra Jawa ini telah “menyelamatkan” aspek-aspek Kebudayaan
Jawa. Ketika bangunan-bangunan kuna sudah runtuh, ia masih dapat ditemui
deskripsinya dalam Sastra Jawa. Gendhing-gendhing dan tarian yang sudah tidak
dikenal masyarakat masih dapat dicari dalam Sastra. Mode Pakaian tradisional,
kuliner, obat-obatan herbal, permainan tradisional, sopan santun, dan adat-istiadat
lama yang kini tidak dikenal lagi masih lengkap diuraikan dalam Sastra.
Karena sangat luasnya maka penelitian Sastra Jawa justru tergantung pada
minat penelitinya.
Peneliti yang tertarik/berminat pada bahasa Jawa dapat meneliti bahasa
Sastra, sejak dari Bahasa Jawa Kuna, Tengahan, maupun Bahasa Jawa Modern.
Bahasa Jawa Kuna memang sudah mati karena sudah tidak digunakan dalam
komunikasi tetapi sisa-sisanya masih dijumpai sampai kini. Misalnya kata
“dirgahayu”. Dari sini dapat pula dirunut perkembangan semantik suatu kata
tertentu. Misalnya pergeseran semantik dari kata “hayu” (JK) menjadi “ayu”
(JB).
Demikian juga dengan Bahasa Jawa Tengahan. Kata-kata bahasa Jawa Baru ada
yang berasal dari Bahasa Jawa Tengahan, sebagian bermakna tetap, sebagian mengalami
perubahan makna. Misalnya tampak dalam ungkapan “Lakune kaya macan luwe”.
Anda berminat di bidang apa? Arsitektur, seni pertunjukan, mode, kuliner,
pengobatan, atau permainan tradisional? Semua bisa diwujudkan melalui
penelitian Sastra Jawa.
Tampaklah bahwa penelitian Sastra Jawa juga dapat memberi sumbangan bagi
ilmu/bidang yang lain. Penelitian tentang Arsitektur Jawa Tradisional dapat
memberi kontribusi pada ilmu teknik. Penelitian tentang obat-obatan tradisional
dapat memberi sumbangan kepada ilmu biologi dan kedokteran. Penelitian tentang
tari, wayang, dan gendhing dapat memberi informasi tentang kekayaan budaya Jawa
sehingga bisa membantu pengusahaan hak paten agar tidak dicuri oleh bangsa
lain.
Demikianlah, luasnya cakupan Sastra Jawa juga menyediakan lahan yang luas
pada penelitiannya. Peneliti Sastra Jawa tidak pernah akan kekurangan bahan.
Dalam melaksanakan penelitian dapat menggunakan beberapa teori sebagai
landasan. Pemilihan teori didasarkan pada tujuan penelitian. Teori yang
digunakan juga bermacam-macam, dari teori Struktural yang meliputi teori
struktural, resepsi/intertekstual, semiotik, sosiologi, psikologi, sampai teori
Post-Struktural seperti dekonstruksi, feminisme, post-modernisme,
post-kolonial, dan sebagainya.
5. Penutup
Demikianlah dunia Sastra Jawa.
Tampak menakutkan? Memang tidak menakutkan, hanya menantang kita semua untuk
kerja keras.
Bahan-bahan Sastra Jawa tadi memang
tidak semuanya disampaikan dalam perkuliahan. Inilah yang membedakan sistem
pengajaran di sekolah menengah dan universitas. Jika di sekolah menengah semua
bahan dijejalkan kepada siswa, di universitas ibaratnya dosen hanya menunjukkan
pintunya, selanjutnya terserah mahasiswa, mau masuk dan menggeluti atau hanya
berdiri di pintu saja. Dengan demikian mahasiswa dituntut untuk banyak membaca
sendiri, karena hanya dengan membaca itulah pengetahuan tentang Sastra Jawa
dapat direguk. Keluasan pembacaan ini akan tampak ketika mahasiswa harus
menyelesaikan skripsi di akhir kuliah. Mahasiswa yang banyak membaca tidak akan
kesulitan dalam menulis skripsi, sebaliknya mahasiswa yang kurang membaca akan
tersendat-sendat.
Akhirnya, selamat datang di Sastra
Jawa. Reguklah kebijaksanaan Jawa sebanyak mungkin maka Anda akan menjadi
manusia yang bijaksana pula.
DAFTAR PUSTAKA
Behrend, T.E. (ed.) 1990. Museum
Sonobudaya Yogyakarta. Jakarta: Jambatan.
Margana, S. 2004. Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suripan Sadi Hutomo. 1975. Telaah Kesusastraan Jawa Modern.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Zoetmulder, PJ. 1985. Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang.
Jakarta: Jambatan.
[1] Disampaikan pada Kuliah
Perdana Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret Surakarta, Senin 31 Agustus 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar